Kamis, 17 November 2011

KRIMINOLOGI

            Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan. secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen berarti kejahatan dan logos yang artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan. istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P.Topinard, seorang ahli antropologi Perancis. terjadinya kejahatan dan penyebabnya telah menjadi subyek yang banyak mengundang perdebatan, spekulasi, teoritisasi, penelitian di antara para ahli maupun masyarakat. banyaknya teori yang berusaha menjelaskan tentang masalah kejahatan walaupun teori-teori tersebut banyak dipengaruhi oleh agama, ekonomi, filsafat dan politik.

Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. para filosof Yunani kuno seperti Aristoteles dan plato sdh menjelaskan studi tentang kejahatan ini di jaman mereka, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan. walaupun studi tentang kejahatan (kriminologi) secara ilmiah dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu dengan ditandai lahirnya statistik kriminal di Perancis pada tahun 1826 atau dengan diterbitkannya buku L'Uomo Delinguente tahun 1876 oleh Cesare Lombroso.

Secara umum kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga pemahaman tentang fenomena kejahatan akan bisa diperoleh dengan baik. berkembangnya kriminologi dan semakin maraknya pemikiran-pemikiran kritis yang mengarah pada studi untuk mempelajari proses-proses pembuatan undang-undang, maka penting bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mempelajari kriminologi, agar dapat diperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena kejahatan dan juga masalah hukum pada umumnya. pada konferensi tentang pencegahan kejahatan dan tindakan terhadap Delinkuen yang diselenggarakan oleh International Non Govemmental Organizations atas bantuan PBB di Jenewa pada 17 Desember 1952, merokomendasikan agar kriminologi diajarkan di universitas yang lulusannya akan bekerja dalam bidang Hukum.
     
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran adalah cara pandang (kerangka acuan, paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan. Dalam sejarah intelektual, terhadap masalah penjelasan secara umum dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yaitu pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistik, kedua-duanya merupakan pendekatan pada masa kuno maupun modern. Penjelasan spiritistik atau demonologik berdasar pada adanya kekuasaan lain atau spirit (roh). Unsur utama dalam penjelasan spiritistik atau demonologik ini adalah sifatnya yang melampaui dunia empirik; tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas. Pada pendekatan naturalistik, penjelasan yang diberikan lebih terperinci dan bersifat khusus, serta melihat dari segu obyek dan kejadian2 dunia kebendaan dan fisik. Apabila penjelasan spiritistik atau demonologik menggunakan dasar dunia lain untuk menjelaskan apa yang terjadi, maka penjelasan naturalistik menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap obyek-obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada (nyata). Pendekatan naturalistik dapat dibedakan dalam tiga bentuk sistem pemikiran atau paradigama, yaitu:

1. Kriminologi Klasik
Kriminologi klasik mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Kunci kemajuan menurut kriminologi klasik adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol dirinya sendiri , baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Kejahatan didefenisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undang-undang pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. dalam hal ini tugas kriminologi adalah menbuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan. dalam literatur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo klasik) maupun positif merupakan ide-ide yang penting dalam usaha untuk memahami dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Cesare Beccaria (1738-1794) adalah orang yang sangat terkenal dari mazhab klasik.

2. Kriminolgi Positif
kriminologi Positif bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologis maupun kultural. ini berarti, manusia bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mhkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologisnya dan situasi kulturalnya. manusia berubah dan berkembang bukan semata-mata karena intelegensinya, akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologisnya atau evolusi kultural. aliaran positif dapat dipandang sebagai yang pertama kali dalam bidang kriminologi yang menformulasikan dan menggunakan cara pandang, metodologi, dan logika dari ilmu pengetahuan alam di dalam mempelajari perbuatan manusia. Dasar yang sesungguhnya dari positivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yang banyak (multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang dibawa manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologis dan sebagian karena pengaruh lingkungan.

3. kriminologi Kritis
Pemikiran kritis yang lebih dikenal dalam berbagai disiplin ilmu, seperti politik, ekonomi, sosiologis, dan filsafat, muncul pada dasawarsa terkhir ini. Aliran pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup. kriminologi kritis, misalnya berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya apabila masyarakat mendefenisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Kriminolgi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-ornag dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefenisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari agen-agen control social (aparat penegak hukum).

Arti Kriminolgi bagi Hukum Pidana
sejak kelahirannya, hubungan kriminologi dengan hukum pidana sangat erat, artinya hasil-hasil penyelidikan kriminologi dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah kejahatan, terutama melalui hasil-hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi (ilmu yang berkenaan dengan kepenjaraan). Disamping itu, dengan penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu pembuatan undang-undang pidana (kriminalisasi) atau pencabutan undang-undang (dekriminalisasi, sehingga kriminologisering disebut  sebagai "signal-wetenschap". Bahkan aliran modern yang diorganisasikan oleh von liszt menghendaki kriminologi begabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantunya agar bersma-sama menangani hasil penyelidikan kriminal sehingga memungkinkan memberikan petunjuk jitu terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya, yang semuanya ditujukan untuk melindungi warga negara yang baik dari penjahat. Terhadap kriminalisasi, H. Mannheim memberikan pandangannya bahwa terdapat berbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana karena tiga alasan :
1. Efesiensi dalam menjalankan undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama dalam masyarakat.
2. Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya.
3. Perlu diingat pula apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan obyek hukum pidana, artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi atau individu.

Kriminologi khususnya sebagai pengaruh pemikiran kritis yang mengarahkan studinya pada proses-proses (kriminalisasi), baik proses pembuatan maupun bekerjanya undang-undang, dapat memberikan sumbangan besar di bidang sistem peradilan, khususnya berupa penelitian tentang penegakan hukum, akan dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum, seperti untuk memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban kejahatan, organisasi (birokrasi) penegakan hukum serta perbaikan terhadap perundang-undangan itu sendiri.

Sejarah Perkembangan Pengertian Kejahatan

Menurut asalnya tidak ada pembatasan secara resmi dan juga tidak ada campur tangan penguasa terhadap kejahatan, melainkan kejahatan semata-mata dipandang sebagai persoalan pribadi atau keluarga. individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balas terhadap pelakunya atau keluarganya. Konsep peradilan ini dapat ditemui pada perundang-undangan lama, seperti Code Hammurabi (1900 SM), perundang-undangan Romawi Kuno (450 SM) dan pada masyarakat Yunani kuno, seperti curi sapi bayar sapi. konsep pembalasan ini juga terdapat pada Kitab Perjanjian Lama: eye for eye.

kemudian konsep ini bekembang untuk pebuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja seperti penghianatan, sedangkan terhadap perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadi. Seiring berjalannya waktu maka kemudian kejahatan menjadi urusan raja (sekarang negara) yaitu dengan mulai berkembangnya apa yang disebut sebagai parents patriae. Konsekuensi selanjutnya dengan dioper tugas ini oleh negara maka main hakim sendiri dilarang. Pada abad ke 18 munculah para penulis yang kemudian disebut sebagai mazhab klasik, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu ancient regime. Mahzab klasik ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang. Ajaran yang terpenting adalah doktrin nullum crimen sine lege yang bererti tidak ada kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mahzab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong undang-undang saja (legisme). Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mahzab ini dan pada akhir abad ke-19 muncullah pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mahzab ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut sebagai mahzab positif. mahzab ini dipelopori oleh C. Lambroso seorang ahli ilmu kedokteran kehakiman. aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non hukum, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law).

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non hukum tersebut banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika terutama sampai pertengahan abad ke 20. Beberapa kritik  yang diajukan terhadap mahzab tersebut antara lain oleh Ray Jeffery yang menyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti dengan kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku dipandang sebagai kejahatn dan bagaimana peraturan perundang-undangan berinterksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan, dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk pada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat.

E. Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatn bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan bahkan dia menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang telah menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galileo-Galilea atas buah pikirannya. Perlu ditegaskan bahwa kejahatan bukanlah fenomena alamiah, malainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap dan ditanggapi sebagai kejahatan, di sana harus ada masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya.

Kejahatan dan Hubungannya dengan Norma-norma

Hubungan kejahatan dengan Hukum (undang-undang)
Bagaimanapun juga kejahatan terutama merupakan pengertian hukum, yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan semata-mata merupakan batasan undang-undang, artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi oleh undang-undang tidak menyatakan sebagai kejahatan (tidak dinyatakan sebagai tindak pidana), begitu pula sebaliknya. Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara delik hukum (rechtsdelicten atau mala per se), khususnya tindak pidana yang disebut 'kejahatan' (buku II KUHP) dan delik undang-undang (wetsdelicten atau mala probibita) yang berupa 'pelanggaran' (buku III KUHP) mengenai perbedaan antara mala per se dengan mala probibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang, yaitu apakah semua tindak pidana itu sebenarnya adalah merupakan mala probibita, artinya perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan oleh karena perbuatan tersebut oleh undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak pidana).
Oleh karena pandangan orang mengenai hubungan antara undang-undang dengan organisasi sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam penyelidikan kriminologi selanjutnya, maka perlu diketahui pandangan-pandangan yang ada mengenai hubungan antara keduanya. Secara umum terdapat tiga perspektif mengenai pembentukan undang-undang yang dapat dipakai untuk menjelaskan antara hubungan hukum (undang-undang) dengan  masyarakat yaitu model konsesus, pluralis, dan konflik. Masing-masing model tersebut mencerminkan perbedaan pandangan mengenai asal pembuatan aturan dan nilai-nilai dasar kehidupan sosial. Penerapan undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif. Apabila model konsesus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dari nilai-nilai dasar manusia, sebaliknya model pluralis menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat. Menurut perspektif tersebut, konflik timbul karena adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenal asal dan bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakan oleh kelompok politis yang paling berkuasa untuk melindungi dan mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri. hukum bukan saja untuk melayani pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu bagi kelompok yang memiliki kekuasaan, akan tetapi juga kepentingan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.

Hubungan Kejahatan dengan Norma-Norma Yang lain


Secara teknik yuridis, istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana, akan tetapi bagi kriminologi harus ada kebebasan untuk memperluas studinya di luar batasan pengertian yuridis, bukan saja untuk dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menelusuri apa yang dipandang sebagai kejahatan, namun juga munculnya pemikiran yang menghasilkan model konflik dalam pembentukan undang-undang kritis yang menghasilkan model konflik dalam pembentukan undang-undang sebagiamana disebutkan diatas. Di samping itu, hukum tidak lain merupakan salah satu norma di antara sistem norma yang lain yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama, kebiasaan dan moral.

Ruang Lingkup Obyek Studi Kriminologi
Menurut Sutherland, kriminologi terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
1. Etiologi kriminal, yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan.
2. Penologi, yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman, perkembangannya serta arti dan faedahnya.
3. Sosiologi hukum (pidana), yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi mempengaruhi perkembangan hukum pidana.

Telah diuraikan di atas mengenai aliran-aliran pemikiran, maka obyek studi kriminologi adalah :
1. kejahatan, yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan? dalam hal ini yang dipelajari terutama adalah peraturan perundang-undangan (pidana), yaitu norma-norma termuat di dalam peraturan pidana. Meskipun kriminologi terutama mempelejari perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undanng dinyatakan sebagai tindak pidana, naman perkembangan kriminologi setelah tahun 1960-an khususnya studi sosiologi terhadap peraturan perundang-undangan pidana telah menyadarkan bahwa dijadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan (politik). sebagai akibatnya kriminologi memperluas studinya terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sangat merugikan masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana. Sejalan dengan itu, konggres ke-5 tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum, yang diselenggarakan oleh PBB pada bulan september 1975 di Jenewa memberikan rekomendasi dengan memperluas pengertian kejahatan terhadap tindakan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan lingkungan, penyelewengan dalam bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, pelanggaran terhadap peraturan pajak, dan terhadap penyalahgunaan kekuasaan  umum secara melawan hukum (illegal abuses of publik power) seperti pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, misalnya penangkapan dan penahanan yang melanggar hukum.

2. Pelaku, yaitu orang yang melakukan kejahatan atau sering disebut "penjahat". Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi positivis menyadarkan pada asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut pada aspek biologis, psikologik maupun sosio-kultural. Oleh karena itu, dalam mencari sebab-sebab kejahatan biasanya dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologisnya (determinis biologis) dan aspek kultural (determinis kultural). Keberatan yang utama terhadap kriminologi positivis adalah bukan saja asumsi dasar tersebut tidak pernag terbukti, akan tetapi juga karena kejahatan adalah kontruksi sosial, artinya perbuatan tertentu diberlakukan sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut ditunjuk sebagai kejahatan oleh masyarakat, yang selalu terjadi dalam konteks. Di samping itu, cara studi tersebut mengandung beberapa kelemahan antara lain :
(a) Sebagai sampel dianggap kurang valid, sebab mereka tidak mewakili populasi penjahat yang ada dimasyarakat secara representatif.
(2) Terhadap pelaku-pelaku kejahatan tertentu yang berasal dari kelompok atau lapisan sosial tertentu yang cukup besar jumlahnya, akan tetapi hampir tidak pernah di penjara. Hal ini misalnya ditunjukan oleh Sutherland dalam penelitiannya terhadap kejahatan white-collar, dimana kurang dari 10 % kasus kejahatan white-collar yang diproses melalui peradilan pidana.
(3) Undang-undang pidana yang bersifat berat sebelah.
(4) Maraknya kejahatan korporasi yang dilakukan oleh korporasi, dimana sosok korporasi berbeda dengan manusia.

Di dalam perkembangannya, studi terhadap pelaku diperluas dengan studi tentang korban kejahatan. Hal ini sebagai pengaruh dari tulisan Hans von Hentig dan B. Mendehlsohn dalam bukunya " The Criminal and his Victim" (1949). von Hentig menunjukan bahwa di dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang sangat penting dalam terjadinya kejahatan. Studi tentang korban ini kemudian berkembang pesat dan muncullah Viktimologi yaitu pengetahuan yang membahas masalah korban dengan segala aspeknya. Pada permulaannya, beberapa sarjana antara lain: B. Mendehlsohn menghendaki viktimologi terlepas dari kriminologi, akan tetapi dengan berkembangannya kriminologi tahun 60-an, yaitu lahirnya "kriminologi hubungan-hubungan" adalah kurang beralasan untuk melepaskan viktimologi dan kriminologi.

3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang di pandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum bisa mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa dihasilkan apa yang disebut sebagai kriminalisasi, deskriminalisasi atau depenalisasi. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini bagi masyarakat kita sangat penting antara lain karena KUHP kita merupakan peninggalan pemerintah kolonian. Masyarakat kita yang terdiri dari berbagai suku dengan nilai-nilai sosialnya yang berbeda-beda, adanya wilayah yang sangat luas dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda, serta pengaruh industrialisasi dan perdagangan pada dasawarsa terakhir ini telah memunculkan fenomena/kejahatan yang baru.

Penelitian Kriminologi

Penelitian-penelitian kriminologi bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang seluk beluk kejahatan dengan cara mengumpulkan, mengklasifikasikan, mengnalisisn, dan menafsirkan fakta-fakta (kejahatan) serta hubungannya dengan fakta-fakta yang lain, seperti fakta sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum. hankam, struktur yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Kenyataan menunjukan bahwa cabang-cabang ilmu pengembangan metodeloginya disesuaikan dengan obyek ilmunya. Ini berarti bahwa metode tertentu dipilih dengan mempertimbangkan kesesuainnya degan obyek studi dan bukan sebaliknya.

Sehubungan dengan itu, maka metode apa yang digunakan dalam penelitian kriminologi terutama ditentukan dan disesuaikan dengan obyek yang diteliti. Sebagaimana diuraikan sebelumnya mengenai aliran-aliran pemikiran, ditunjukan perkembangan aliran-aliran pemikiran dalam kriminologi telah menghasilkan perubahan dalam arah dan obyek studi kriminologi, dengan akibat perbedaan dalam metode yang digunakan.

Pandangan masa lampau yang menganggap kriminologi sebagai disiplin nometetik dan ideografik serta sebagai pengaruh diterinyan filsafat positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, menjadikan digunakannnya metode ilmu-ilmu alam dalam penelitian-penelitian kriminologi, khususnya dalam mencari sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal). Salah satu metode yang mendominasi penelitian kriminologi karena itu mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam kriminologi adalah statistik kriminal. Namun dengan munculnya aliran pemikiran kritis, kedudukan statistik kriminal sebagai sampel yang sah dipertanyakan kembali.

Metode Statistik

Arti statistik kriminal bagi kriminologi sangat penting, bukan saja sebagia metode dan data kejahatan, akan tetapi juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk gambaran orang mengenai realitas kejahatan atau sebagai konstruksi sosial tentang realitas kejahatan. Adolphe Quetelet (1776-1874) seorang Belgia ahli statistik dan guru besar ahli astronomi di Brusels telah berhasil menjadikan statistik suatu metode ilmu pengetahuan serta menciptakan dasar-dasar statistik praktis. Dia-lah yang dengan menggunakan data statistik kriminal di Prancis, untuk pertama kali membuktikan bahwa kejahatan, seperti halnya banyak kejadian sosial lainnya, seperti perkawinan, kelahiran, kematian, dan juga kejahatan merupakan lebih dari sekedar kejadian yang bersifat perorangan, melainkan sebagai fenomena yang bersifat masal, sehingga statistik kriminal menjadi metode yang lebih baik untuk mempelajari kejahatan yang bersifat masal tersebut, yaitu dalam menemukan keteraturan, kecenderungan atau bahkan hukum-hukum sosial. Pengamatannya yang sangat terkenal adalah  bahwa jumlah dan jenis kejahatan di negara tertentu setiap tahun cenderung sama dan juga cara melakukannya adalah sama.

Statistik Kriminal adalah angka-angka yang menunjukan jumlah kriminalitas yang tercatat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Statistik kriminal ini disusun berdasarkan kriminalitas yang tercatat, baik secara resmi (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya) maupun yang dicatat oleh para peneliti sendiri. Kriminalitas yang tercatat tersebut hanya merupakan sampel dari seluruh kriminalitas yang terjadi, sedangkan jumlah kriminalitas yang terjadi tidak pernah diketahui. Bagian kriminalitas yang tidak pernah diketahui dinamakan angka gelap (dark numbers atau dark figures). Oleh karena itu, salah satu ciri (kelemahan) statistik kriminal adalah tidak lengkap. Dan memang statistik kriminal tidak pernah dapat mencatat seluruh kriminalitas yang ada. Jika statistik ini digunakan untuk penyelidikan etiologi kriminal, memang tidak dibutuhkan lengkapnya bahan-bahan, asal saja bahan-bahan tersebut cukup representatif, dalam arti dapat diterima sebagai sampel yang sah dan apakah perbandingan antara yang diketahui dengan yang tidak diketahui dapat dikatakan tetap (pars pro toto). Persoalannya adalah, apakah asumsi tersebut terbukti, artinya apakah statistik kriminal merupakan data yang representatif, baik mengenai penyebaran dari jenis-jenis kejahatannya, pelaku, daerahnya, maupun mengenai perbandingan antara kejahatan yang diketahui dengan yang tidak.

Tujuan dibuatnya statistik kriminal oleh pemerintah adalah untuk memebrikan gambaran/data tentang kriminalitas yang ada dimasyarakat, seperti jumlahnya, frekuensinya serta penyebaran pelakunya dan kejahatannya. Berdasarkan data tersebut kemudian oleh pemerintah (khususnya penegak hukum) dipakai untuk menyusun kebijakan penanggulangan kejahatan, sebab dengan kejahatan tersebut pemerintah (penegak hukum) dapat mengukur naik turunnya kejahatan pada suatu periode tertentu di suatu daerah atau negara. pengukuran ini tentunya hanya dapat dilakukan dengan asumsi bahwa hubungan antara kriminalitas yang dilaporkan dengan yang tidak dilaporkan adalah tetap (konstan). asumsi ini tidak pernah tebukti karena beberapa hal, terutama karena tiga hal berikut ini :
1. Sifat dan bentuk dari kejahatan,
2. Peranan korban kejahatan dan masyarakat,
3. Aktivitas aparat penegak hukum khususnya polisi.

Disamping untuk tujuan praktis, khususnya bagi tujuan pemerintahan, statistik kriminal juga dipakai oleh para ilmuwan, khususnya kriminologi, untuk menjelaskan fenomena kejahatan atau menyusun teori. Terhadap cara-cara penggunaan statistik kriminal oleh pemerintah (polisi) dan kriminologi yang menganggap statistik kriminal sebagai pencerminan kejahatan yang ada di masyarakat, dalam arti diterima sebagai sampel yang sah, mengandung beberapa kelemahan :

1. Statistik kriminal adalah hasil pencatatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (khususnya polisi) berdasarkan laporan korban dan anggota masyarakat pada umumnya (berdasarkan berbagai studi sekitar 80-90 % pencatatan tersebut berasal dari laporan masyarakat). Hasil pencatatan terutama dipengaruhi oleh kemauan korban untuk melaporkan. Dari berbagai penelitian dapat ditujukan kecenderungan korban untuk melaporkan dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti jenis-jenis kejahatan, nilai kerugian, pandangannya terhadap kemampuan polisi, hubungannya denagn pelaku kejahatan serta berbagai kepentingan praktis lannya.

2. Apa yang disebut sebagi kejahatan, dalam perwujudannya akan menampakkan dirinya dalam berbagi bentuk perilaku dan seringkali tidak jelas, samar-samar hingga memerlukan penafsiran. Menafsirkan suatu kejadian atau fakta tertentu sebagai kejahatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsinya tentang apa yang disebut sebagai kejahatan. Dari berbagai studi dapat ditunjukan persepsi korban (dan masyarakat) terhadap kejahatan bersifat berat sebelah (bias) yaitu terutama mengenai kejahatan white-collar. Akibatnya kejahatan yang dilaporkan juga bersifat berat sebelah yaitu terutama berupa kejahatan warungan dan sangat langka dengan kejahatan white-collar.

3. Persepsi polisi juga bersifat berat sebelah. Dari jenis-jenis kejahata  yang dijadikan indeks kejahatan, berarti yang akan mendapat prioritas dalam penanggulangannya, terutama juga kejahatan warungan. Akibatnya kejahatan yang mendapat perhatian polisi, yang pada akhirnya masuk dalam statistik kriminal, terutama juga kejahatan warungan.

Dengan melihat beberapa kelemahan tersebut dapat disimpulkan bahwa statistik kriminal bukan merupakan pencerminan kejahatan yang ada di masyarkat, akan tetapi hanyalah merupakan gambaran tentang aktivitas penegak hukum.

Teori-Teori Tentang Sebab-Sebab Kejahatan

(1) Teori-Teori yang Mencari Sebab Kejahatan dari Aspek Fisik (Biologi Kriminal) 
      Usaha-usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti Gall (1758-1828), Spurzheim (1776-1832), yang mencoba menacari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku. Mereka berdasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal. Ajaran-ajaran ahli frenologi ini berdasarkan pada preposisi dasar :
- Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya dan bentuk dari otak,
- Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan,
- Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan tengkorak kepala.
Oleh karena otak merupakan organ dari akal sehingga benjolan-benjolannya merupakan petunjuk dari kemampuan/kecakapan tertentu dari organ.
Studi ini telah membuka jalan bagi mereka yang mencari hubungan antara kejahatan dengan ciri-ciri biologis.

Cesare Lombroso (1835-1909) seorang dokter ahli kedokteran kehakiman merupakan tokoh yang penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dan ciri-ciri fisik (biologis) penjahat dalam bukunya L'uomo Delinquente (1876), sehingga dia sering dipandang sebagai bapak kriminologi modern dan pelopor mahzab positif. Meskipun ajaran Lombroso pada waktu itu hanya mempunyai arti penting bagi sejarah perkembangan kriminologi, namun untuk dapat mengetahui ajarannya, kita bisa melihat pokok-pokok ajarannya :
1. Menurut Lombroso, penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat.
2. Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran, yaitu diwariskan dari nenek moyang (borne criminal)
3. Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain.
4. Bakat jahat tersebut tidak diubah, artinya bakat jahat tersebut tidak dapat dipengaruhi.

(2) Teori-Teori yang Mencari Sebab Kejahatan dari Faktor Psikologis dan Psikiatris (psikologi kriminal)
      Usaha-usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk agak baru. Seperti halnya para positivistis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat, dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.
Bagaimanapun juga psikologi kriminal haruslah didasrkan pada psikologi itu sendiri, sedangkan psikologi termasuk ilmu yang perkembangannya agak lambat. Pada umumnya ahli-ahli psikologi pengembangan ilmunya dengan cara-cara membagi manusia dengan tipe-tipe tertentu (tipologi). Akan tetapi tipologi yang dihasilkan tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan pada para penjahat.

Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku kejahatan yang sehat, artinya sehat dalam pengertian psikologi. Mengingat tentang jiwa yang sehat sangat sulit dirumuskan, dan kalaupun ada maka perumusannya sangat luas. Bentuk-bentuk gangguan mental yang akan dibicarakan disini adalah psikoses, neuroses dan cacat mental.

A. Psikoses

Psikoses dapat dibedakan antara psikoses organis dan psikoses fungsional.
1. Psikoses organis.
Bentuk-bentuk psikoses organis antara lain :
(a) Kelumpuhan umum dari otak yang ditandai dengan kemerosotan yang terus menerus dari seluruh kepri-
badian. pada tingkat permulaan, maka perbuatan kejahatan seperti pencurian, penipuan, pemalsuan di lakukan dengan terang-terangan dan penuh ketololan.
(b) Traumatik psikoses yang diakibatkan oleh luka pada otak yang disebabkan dari kecelakaan (geger otak). Penderita mudah gugup dan cenderung untuk melakukan kejahatan kekerasan.
(c) Encephalis lethargica, umumnya penderitanya adalah anak-anak yang seringkali melakukan tindakan-tindakan anti sosial, pelanggaran seks.
(d) Senile dementia, penderitanya pada umumnya pria yang sudah lanjut usia dengan kemunduran pada kemampuan fisik dan mental, gangguan emosional dan kehilangan kontrol terhadap orang lain, menimbulkan tindak kekerasan atau pelanggaran seksual terhadap anak-anak.
(e) Puerperal insanity, penderitanya adalah wanita yang sedang hamil atau beberapa saat setelah melahirkan, yang diakibatkan karena kekhawatiran yang luar biasa yang disebabkan karena kelahiran anak yang tidak dikehendaki, tekanan ekonomi dan kelelahan fisik. kejahatn yang dilakukan berupa aborsi, pembunuhan bayi atau pencurian.
(f) Epilepsi, merupakan salah satu bentuk psikoses yang sangat terkenal, akan tetapi juga salah satu bentuk psikoses yang sukar dipahami. Bentuk gangguan ini sangat bermacam-macam.
(g) Psikoses yang diakibatkan dari alkohol. Persoalan yang dapat di ajukan adalah :
  1. Seberapa jauh pemabukan dipandang sebagai pelanggaran hukum ?
  2. Seberapa jauh pemabukan merupakan penyebab timbulnya kejahatan ?
  3. Apakah makna pemabukan dalam psikiatris ?
  4. Seberapa jauh sikap hukum pidana terhadap kejahatan yang dilakukan sebagai akibat tingkat pemabukan yang berbeda-beda?
 Dari pandangan psikiatris dan kriminolgi dapat dibedakan tiga tipe penggunaan alkohol :
  1.  Tipe normal. Mereka menggunakan alkohol kadang-kadang saja. penggunaan alkohol disini dapat mengganggu kemampuan fisik dan mental yang kadang-kadang dapat menghasilkan kejahatan kekerasan, pelanggaran seks, pembakaran dan balas dendam.
  2. Peminum Patologis. Terjadi pada orang-orang yang mentalnya tidak stabil, dan sebagainya. Orang semacam ini akan menjadi garang meskipun hanya minum alkohol dalam jumlah sangat sedikit.
  3. alkoholis yang kronis. yang dapat mengakibatkan menjadi kurang waras dengan halusinasi.
2. Psikoses fungsional
 Bentuk psikoses fungsional yang utama adalah :
  1.  Paranoia, penderitanya antara lain diliputi oleh khayalan (delusi), merasa hebat, merasa dikejar-kejar.
  2. Manic-depressive psikhoses, Penderitanya menunjukan tanda-tanda perubahan dari kegembiraan yang berlebihan ke-kesedihan. Keadaan tersebut bisa berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau lebih lama lagi. Kejahatan yang dilakukan misalnya kejahatan kekerasan, bunuh diri, pencurian kecil-kecilan, penipuan, pemabukan.
  3. schizoprenia, sering dianggap sebagi bentuk psikoses fungsional yang paling banyak dan penting. pada penderitanya ada kepribadian yang terpecah. Melarikan diri dari kenyataan. hidup yang fantasi, delusi dan halusinasi. tidak bisa memahami lingkungannya. kadang-kadang merasa ada orang yang menghipnotis dirinya.
B. Neuroses
   Perbedaan antara psikoses dan neuroses masih merupakan hal yang kontroversi. Secara statistik pelanggaran hukum lebih banyak dilakukan oleh penderita neuroses daripada psikoses. Di sini akan dibicarakan beberapa bentuk neuroses yang sering muncul di pengadilan.
 1. Anxiety Neuroses dan Phobia. Keadaannya ditandai dengan ketakutan yang tidak wajar dan berlebih-lebihan terhadap adanya bahaya dari sesuatu atau pada sesuatu yang tidak ada sama sekali. Jika dihubungkan dengan obyek atau ideologi tertentu disebut phobia.
Misalnya:
  • Nycotophobia -- takut pada kegelapan
  • Gynophobia    -- takut terhadap wanita
  • Aerophobia     -- takut terhadap tempat yang tinggi
  • Ochlophobia   -- takut terhadap orang banyak
  • Monophobia   -- takut terhadap kesunyian/berada sendirian
2. Hysteria. Terdapat disosiasi antara dirinya dengan lingkungannya dalam berbagai bentuk. Pada umumnya sangat egosentris, emosional, dan suka bohong. pada umumnya penderita histeria adalah wanita.
3. Obsesional dan Compulsive Neuroses. Penderitanya memilikikeinginan atau ide-ide yang tidak rasional dan tidak dapat ditahan. Sering dikatakan, hal tersebut disebabkan karena ada keinginan-keinginan (seksual) yang ditekan disebabkan adanya ketakutan untuk melakukan keinginan tersebut (karena adanya norma-norma atau akibat-akibat tertentu). Bentuk-obsesional dan compulsive neuroses, antara lain kleptomania, discomanisa, fetishisme, exhibitionist, pyromania. Mengenai penilitian tentang adanya kleptomania dilakukan oleh T.C.N Gibbens, pada pencurian yang dilakukan di supermarket.

C. Cacat Mental
     Pengertian cacat mentallebih ditekankan pada kekurangan intelegensia daripada karakter atau kepribadiannya, yaitu dilihat dari tinggi rendahnya IQ dan tingkat kedewasaannya. Literatur kuno masih membedakan beberapa bentuk seperti: idiot, yaitu orang yang menunjukan IQ di bawah 25 dan tingkat kedewasaannya di bawah 3 tahun; imbecil, yaitu orang yang menunjukan IQ-nya antara 25-50 yang tingkat kedewasaannya antara 3-6 tahun, dan feeble-minded yaitu dengan IQ antara 50-70 dan tingkat kedewasaannya 6-10 tahun.

Psikologi dari Penjahat yang Normal

Perkembangan psikologi kriminal sendiri mengalamihambatan karena kurang mendapat perhatian dalam studi biologi kriminal yang lebih diarahkan untuk mempelajari patologi kriminal yaitu penjahat yang tidak normal mentalnya.
Perhatian terhadap hal ini mulai berkembang dengan munculnya psikoanalisa dan tumbuhnya kesadaran bahwasannya tidak ada garis yang secara pasti memisahkan antara apa yang disebut sebagai normal dan abnormal.
Telah disebutkan psikologi kriminal mempelajari ciri-ciri psikis penjahat yang sehat. Akan tetapi sebagaimana dalam menentukan batasan "normal" dan "tidak normal" sehingga pembicaraan tentang hal ini dimulai dengan membahas bentuk-bentuk gangguan mental. Diharapkan mahasiswa dapat memahami berbagai aspek psikis dari pelaku kejahatan.
Dalam menggambarkan pelanggar yang normal dan menjelaskan tingkah lakunya, tak dapat dielakkan kita akan didorong memasuki daerah jelajah antara psikologi dan sosiologi yang pada akhir-akhir ini sebagian besar dijadikan bidang jelajah psikologi sosial.
Telah disebutkan bahwa unsur mental selalu hadir dalam perbuatan kejahatan sehingga sebenarnya tidak ada garis demarkasi yang tegas antara keduanya. Apabila tujuan penjelasannya terutama diarahkan pada lingkungan penjahat, maka dapat dimasukkan dalam sosiologi, sedangkan apabila pada individunya sendiri maka termasuk psikologi.
Sosiologi akan melaporkan bahwa terdapat faktor-faktor tertentu pada lingkungan individu tertentu yang kemungkinan akan menghasilkan kejahatan, sedangkan psikologi menggambarkan jenis kepribadian individu tertentu yang mungkin cenderung melakukan kejahatan jika diharapkan pada situasi tertentu.
Secara umum diterima pandangan bahwa apa yang membentuk kepribadian cenderung dipengaruhi oleh intelegensi, di samping kualitas-kualitas khusus di luar kemampuan intelektual. Istilah-istilah agresif, suka berkelahi, sikap curiga, takut, malu-malu, tidak suka bergaul, ramah, menyenangkan, seringkali dipakai untuk menggambarkan beberapa dari kualitas tersebut.
Studi yang dilakukan oleh suami-istri Glueck yang mencari perbedaan ciri-ciri antara anak-anak delinkuen dengan non-delinkuen, (dalam penelitian tersebut mereka membandingkan 500 anak laki-laki delinkuen dengan 500 anak laki-laki non delinkuen) menggambarkan justru terdapat banyak persamaannya daripada perbedaannya.
Berdasarkan studi-studi tersebut dapat ditarik kesimpulan, tidak dapat ditunjukkan dengan jelas adanya perbedaan kepribadian penjahat dan non penjahat. Masalahnya lebih berupa kesalinghubungan ciri-ciri daripada terdapatnya suatu perbedaan dari adanya atau tidak adanya ciri-ciri tertentu.
Meskipun dari berbagai penelitian terhadap pelaku kejahatan ditemukan ciri-ciri kepribadian tertentu, namun kita tidak dapat begitu saja menyimpulkan adanya "kepribadian penjahat", sebab:
  • Penjahat merupakan istilah umum, sedangkan ciri-ciri tersebut hanyalah mengenai jenis-jenis kejahatan tertentu.
  • Ciri-ciri kepribadian tersebut hanya dicari pada kelompok tertentu ("pelaku kejahatan resmi") tanpa dibandingkan dengan mereka yang dianggap bukan penjahat.
  • Ciri-ciri tersebut hanyalah ciri-ciri kepribadian penjahat resmi bukan ciri penjahat secara keseluruhan.
  • Kelemahan yang tidak dapat dihindari dari sampel yang diteliti yang mendasarkan pada data resmi tentang pelaku kejahatan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dari beberapa penelitian ditemukan ciri-ciri kepribadian tertentu yang banyak dimiliki pelaku kejahatan. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Dr. Roper dalam penelitiannya terhadap 1100 napi menemukan 51% sebagai berkepribadian inadequate, dalam arti kepribadian yang samar-samar dan tidak efektif. Di samping itu, Roper juga menekankan adanya kepribadian yang "tidak dewasa" dari kebanyakan penjahat.
  2. Bahwa pelaku kejahatan  lebih banyak frustasi daripada rata-rata, artinya mereka lebih mudah frustasi dan agresif. Menurut Roper kejahatan dimulai sebagai reaksi dan frustasi, meskipun diakui masih diperlukan faktor-faktor yang lain sebelum frustasi tersebut berubah menjadi kejahatan.
W.I Thomas dalam studinya terhadap kenakalan remaja menyimpulkan, frustasi merupakan sumber utama dari timbulnya kenakalan remaja. Selanjutnya dikatakan, sebab-sebab timbulnya frustasi tersebut karena tidak dipenuhinya empat kebutuhan pokok (four wishes) remaja, yaitu:
a. kebutuhan untuk memperoleh rasa aman
b. kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai usaha untuk memenuhi dorongan ingin tahu, petualangan, sensasi.
c. kebutuhan untuk ditanggapi sebagai pemenuhan dorongan cinta, persahabatan.
d. kebutuhan untuk memperoleh pengakuan yang berupa status atau prestise.

Apabila keempat kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus menerus, maka akan menimbulkan frustasi.
Di samping itu, perasaan diperlakukan tidak adil merupakan bentuk khusus dari frustasi, seperti apa yang dikatakan oleh S.Freud, syarat pertama dari budaya adalah keadilan, dan apabila individu merasa rasa keadilannya diperkosa, maka perasaan frustasinya akan mendorongnya terutama sekali untuk melakukan perbuatan agresi.

(3) Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor sosiologi kultural (sosiologi kriminal)
Obyek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungannya tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.
Di samping itu juga, dipelajari tentang umur dan seks, hanya saja berbeda dengan biologi kriminal, maka di sini yang dipelajari adalah hubungan seks dan umur dengan peranan sosialnya yang dapat menghasilkan kejahatan.
Suatu masyarakat dapat dimengerti dan dinilai hanya melalui latar belakang kultural yang dimilikinya, norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Apakah kultur, norma dan nilai tersebut dipandang baik atau buruk, seberapa jauh konflik yang timbul antara norma/nilai yang satu dengan yang lainnya, dan karenanya dipandang dapat meningkatkan atau paling tidak ikut membantu timbulnya kejahatan, akan berbeda-beda menurut pandangaannya masing-masing pengamat.
Oleh karena itu, bukan tugas kriminologi untuk menilai, akan tetapi lebih berupaya untuk menggambarkan dan menjelaskan fakta-fakta yang ada. Untuk memahami dan menjelaskan kejahatan yang ada perlu dipelajari bagaimana aspek-aspek budaya tertentu dapat mempengaruhi timbulnya kejahatan, misalnya sampai seberapa jauh budaya feodalisme (dalam kenyataan masih hidup di masyarakat kita) berpengaruh terhadap timbulnya kejahatan. Begitu pula berbagai aspek budaya tertentu yang pada masa lampau dianggap sebagai "baik" dengan perubahan sosial mungkin justru mempunyai pengaruh besar dalam timbulnya kejahatan dan bentuk-bentuk penyimpangan sosial lainnya yang dapat menghambat tercapainya tujuan masyarakat adil dan makmur.
Salah satu ciri masyarakat adalah adanya pelapisan sosial (stratifikasi sosial), misalnya pada masyarakat Jawa Kuno kita kenal adanya priyayi dan orang kebanyakan, sedangkan pada masyarakat modern kita mengenal apa yang disebut sebagai kelas sosial. Dalam hubungan dengan kelas sosial perlu dipelajari sejauh mana adanya kelas sosial tersebut mempunyai pengaruh dalam timbulnya kejahatan., bentuk-bentuk kejahatan dan pelakunya serta konsekuensi-konsekuensi lainnya. Khususnya dengan mengingat keadaan masyarakat kita yang pada dua dasa warsa terakhir ini mengalami perubahan sosial yang cukup pesat di samping pengaruh industrialisasi dan globalisasi, maka dalam mempelajari gejala kejahatan yang terjadi di masyarakat perlu kepekaan dan ketajaman dalam mengamati gejala-gejala sosial yang ada/yang sedang berlangsung. Artinya seberapa jauh perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial berpengaruh terhadap perkembangan kejahatan.
Secara umum dapat dikatakan setiap masyarakat memiliki tipe kejahatan dan penjahat sesuai dengan budayanya, moralnya, kepercayaannya serta kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan), dapat melalui dua cara pendekatan:

1.  Melihat penyimpangan sebagai kenyataan obyektif.

Di dalam pendekatan ini maka dalam menyimpulkantindak penyimpangan didasarkan pada gambaran tentang norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan mendasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Pertama-tama diasumsikan adanya konsesus tentang nilai/norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dengan mendasarkan adanya konsesus tersebut maka secara relatif mudah untuk mengidentifikasi pelaku penyimpangan/kejahatan. Karena terhadap tindakan penyimpangan ada sanksinya, maka penjatuhan hukuman berarti penegasan kembali kepada masyarakat luas bahwa mereka terikat oleh seperangkat norma-norma dan nilai-nilai hukum.
Pertanyaan-pertanyaan dasar yang diajukan pada pendekatan ini adalah:
  • Kondisi-kondisi sosio-kultural apa yang di anggap paling menghasilkan kejahatan.
  • Mengapa orang-orang tetap melakukan kejahatan meski kontrol diarahkan pada mereka.
  • Bagaimanakah kontrol yang paling baik terhadap pelaku kejahatan?
Dengan memberikan sejumlah pertanyaan dan asumsi tersebut, maka prosedur untuk mempelajari kejahatan adalah sebagai berikut:
Pertama kali mengarahkan studinya dengan menggambarkan perbuatan-perbuatan yang "dibolehkan" dan "dilarang" dari masyarakat atau kelompok. Kemudian mereka mencari data kejahatan ke petugas pencatat resmi (kepolisian, pengadilan dan sebagaianya) untuk mencatat pelaku kejahatan. Selanjutnya data statistik kriminal tersebut dipelajari dan dilakukan wawancara dengan orang yang tercatat dalam statistik tersebut, ditambah dengan wawancara terhadap petugas penegak hukum.
Dari data tersebut kemudian dicari untuk mengidentifikasi ciri-ciri dari pelaku kejahatan. Dan apabila dimungkinkan membandingkannya dengan orang-orang bukan pelaku kejahatan. Usaha untuk mengembangkan suatu teori dengan menerangkan bagaimana pelaku kejahatan sampai pada perbuatan melanggar hukum, pada tingkat pertama dilakukan dengan cara mempelajari secara cermat ciri-ciri umum mereka yakni macam-macam kondisi-kondisi sosial dan kultural yang paling dianggap menghasilkan dan mendorong bentuk-bentuk penyimpangan tersebut. Dan sekali suatu teori yang dianggap pantas dapat diperoleh, langkah berikutnya adalah menguji terhadap kemungkinan-kemungkinan untuk menerapkan, baik dalam bentuk tindakan maupun pencegahan. Kekuatan pendekatan ini adalah ketajaman dan kesederhanaan dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaannya. Kelemahan pendekatannya adalah mengikuti asumsi-asumsi kunci tersebut, sebab pada masyarakat majemuk/heterogen adalah sulit sekali untuk begitu saja menyatakan adanya konsensus yang didasarkan pada prinsip-prinsip adat istiadat masyarakat luas terhadap suatu kasus tertentu. Begitu pula untuk mengidentifikasi penjahat merupakan tugas yang sulit, terutama karena kesempatan untuk memperoleh penemuan yang merupakan bagian dari kurangnya kesepakatan atas norma-norma. Di samping itu, kondisi penegakkan hukum yang selektif merupakan gambaran dari cara kerja kebanyakan penegak hukum, sehingga kategori-kategori tertentu cenderung untuk diberi cap sebagai penjahat dan dikenai sanksi. Sehingga konsekuensi dari penjatuhan hukuman tidak dapat menjadi sesederhana dan seragam sebagaimana didalilkan.

2. Penyimpangan sebagai problematik subyektif.

Pada cara pendekatan ini, fokus studinya pada batasan sosial dari pelaku kejahatan, karenanya perlu diketahui bagaimana prespektif dari orang-orang yang memberikan batasan kepada seseorang sebagai pelaku penyimpangan sosial, sehingga berusaha untuk menemukan:
  • Keadaan apa saja yang menyebabkan seseorang dipandang sebagai penjahat?
  • Bagaimanakah orang memandang peranan sosial tersebut?
  • Tindakan-tindakan apakah yang dilakukan orang-orang lain berdasarkan redefinisi (batasan kembali) atas orang tersebut?
  • Nilai positif ataukah negatif yang mereka berikan atas fakta-fakta penyimpangan?
Di samping itu dalam hubungan interaksi maka mereka juga mencarinya dari sisi lain yaitu prespektif dari orang-orang yang dinyatakan penjahat, dan pertanyaan yang ingin diperoleh jawabannya adalah:
  • Bagaimanakah orang yang dinyatakan sebagai penjahat memberikan reaksi atas penandaan (pemberian cap) tersebut?
  • Bagaimanakah dia mengambil peran penjahat yang mungkin akan membutanya dikesampingkan?
  • Perubahan apa yang dihasilkan dalam kelompoknya?
  • Seberapa jauh dia menyesuaikan konsepnya dengan peran penjahat yang diberikan kepadanya?
Pendekatan yang kedua disebut prespektif interaksionis yang semakin populer setelah tahun 1960-an, yakni sebagai pengaruh dari aliran pemikiran kritis.
Yang menjadi tujuan pada pendekatan ini bukan mencari jawaban atas ciri-ciri pelaku atau perbuatannya, akan tetapi masalah pembentukan persepsi tentang kejahatan, sehingga pertanyaan pokoknya bukan "siapakah penjahat", melainkan bagaimanakah kelompok member batasan penjahat dan kejahatan. Dengan demikian, penjahat dan kejahatan adalah masalah batasan sosial.
Penyimpangan sebagai proses interaksi karenanya membutuhkan tindakan-tindakan penegak hukum dalam menunjukan bekerjanya pemberian sanksi kepada orang lain. Apabila ini berhasil, maka keadaan ini akan mengubah hubungan dengan orang yang bersangkutan untuk waktu-waktu yang akan datang. Pada proses ini diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang dapat dimulainya proses pemberian cap tersebut, seperti kejadian-kejadian yang "tidak biasa" serta jaringan hubungan sosial. Proses pemberian cap ini dapat digambarkan sebagai berikut :
  • Siapa memberi cap kepada siapa,
  • Atas dasar apa,
  • Bagaimana caranya,
  • Sebelum atau sesudah tindakan tersebut,
  • Dihadapan siapa saja,
  • Apakah akibat/pengaruh dari pemberian cap tersebut.
Secara umum dapat dikatakan bahwa proses pemberian cap dipandang berhasil apabila pemberi cap, masyarakat dan orang yang diberi cap mengerti dan menerimanya, sehingga akan berpengaruh pada semua hubungan di masa-masa selanjutnya.
Kenyataan menunjukan pemberian cap lebih efektif apabila diberikan dari atas ke bawah daripada sebaliknya. Di samping itu, cap negatif pada umumnya lebih cepat diterima daripada pemberian cap yang positif.

KEJAHATAN DAN MASYARAKAT

Perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi baik secara institusional maupun intelektual dalam kriminologi menunjukkan terjadinya hubungan-hubungan dialektis antara pengetahuan  dan pemikiran dengan realitas sosial, serta juga tahap-tahap pencapaian hasil-hasil yang diantisipasikan dalam praktik sosial bidang
 pengetahuan ilmiah ini. kriminolgi masa lalu beranjak  dari pemahaman yang dangkal mengenai kejahatan, padahal kejahatan tak hanya bisa ditilik dari segi fenomenalnya saja, melainkan merupakan aspek yang tidak terpisah dari konteks politik, ekonomi dan sosial masyarakatnya, termasuk dinamika sejarah kondisi-kondisi yang melandasinya (yakni struktur-struktur sosial yang ditemukan secara historis).

Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan dalam masyarakat (crime in society), dan merupakan bagian dari keseluruhan proses-proses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses-proses ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar manusia. Pemahaman kejahatan pada masa lampau serimgkali kehilangan makna oleh karena meninggalkan konsep total masyarakat (the total concept of society).
Semangat kritis yamg mewarnai kriminologi seperti dikemukakan pada halaman-halaman muka dapat dikatakan pada umumnya memahatkan suatu pandangan yang melihat kejahatan dari perspektif pemerataan keadilan dan kemakmuran.
Jangkar posisi yang terpancang adalah mengidentifikasikan diri dengan mereka yang tertindas dan diterbelakangkan; suatu hal yang didahului oleh kesadaran bahwa penindasan dan penghisapan baik yang nyata atau langsung maupun yang lebih halus sifatnya terjadi melalui struktur sosial, ekonomi, dan politik yang dialami oleh mayoritas populasi dunia. Hal itu telah menimbulkan keadaan-keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar manusia serta hak untuk menentukan nasib sendiri. Kesadaran ini telah menyingkirkan berbagai bentuk kesadaran palsu.

KEJAHATAN DAN KEADILAN SOSIAL

Proses penyadaran yang dialami oleh komunitas ilmiah kriminologi sejak tahun 1960-an, telah mengembangkan suatu kesadaran kritis dalam menanggapi kenyataan-kenyatan dalam masyarakat, dan membentuk hasil-hasil kerja ilmiah yang merupakan produk aksi dan refleksi.
Kejahatan-kejahatan konvensional mulai surut dari perhatian mereka, dan digantikan oleh kejahatan-kejahatan yang lebih menusuk akibatnya terhadap masyarakat; atau kejahatan-kejahatan konvensional dijelaskan dan dianalisa dengan mengungkapkan keseluruhan hubungannya dengan kondisi-kondisi politis, ekonomis, dan sosial dalam masyarakat.

Kejahatan-kejahatan utama yang patut memperoleh tekanan perhatian kriminologi di negara-negara yang sedang membangun adalah kejahatan-kejahatan yang melembaga serta kejahatan-kejahatan struktural yang berkisar pada bentuk-bentuk, pengebirian, pemerasan dan penindasan hak-hak dasar manusia baik sebagai perorangan maupun dalam ikatan kelompoknya.
Dengan demikian, maka untuk memperoleh pemahaman yang lebih dari sekedar pemahaman awam atas kejahatan, kriminolgi membutuhkan suatu pengamatan tajam dan mendalam mengenai masalah-masalah struktural dalam masyarakat, serta dependensi kejahatan atas kekuatan-kekuatan makro-sosiologis yang melatarbelakanginya.

Salah satu masalah struktural yang perlu diperhatikan di dalam analisa kriminologi di Indonesia adalah masalah kemiskinan. Telah cukup banyak studi dan penelitian di Indonesia yang mengungkapakan masih berlangsungnya proses pemelaratan di negeri ini. Proses pemelaratan tersebut harus dipandang sebagai suatu bentuk ketidakadilan sosial  yang memerlukan perubahan-perubahan struktural guna mernggutkan cengkraman struktur yang memiskinkan itu. Dalam kriminologi, keadaan ini seyogyanya dianggap sangat penting karena kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan korban amat banyak.

Kemiskinan bukan sekedar maslah budaya  yang dapat dilihata dari sudut kebudayaan kemiskinan (the culture of proverty), seakan-akan bagian wajar dari proses budaya semata-mata, melainkan harus dilihat sebagai suatu proses pemelaratan yang merupakan produk bekerjanya keputusan-keputusan dan jaringan-jaringan organisasi sosial, ekonomi dan politik. Proses itu juga telah melibatkan sejumlah lembaga yang memberikan sumbangan penting bagi jalan ekonomi dengan menyangga suatu struktur pemilikan yang timpang. Lembaga-lembaga itu juga dalam bergeraknya langsung atau tidak langsung telah menyisihkan mayoritas massa untuk memperoleh keuntungan dari kebijakan-kebijakan pembangunan.

Arti krimonologis pengungkapan dan pemahaman atas bentuk-bentuk ketidakadilan sosial ini semakin bertambah apabila kita mengingat sebuah bunyi hipotesa besar dalam sosilog hukum seperti yang dikatakan Schuyt. Hipotesa ini menyatakan bahwa pelaksanaan hukum dan penerapan hukum yang adil, artinya yang sama bagi setiap orang dan berjalan sesuai dengan peraturan dan asas-asas hukum, tergantung pada struktur sosial yang adil, yaitu struktur masyarakat yang ciri khasnya tidak terdapat pada perbedaan kekuasaan yang besar dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam aneka bentuk dan variasi.
Perluasan pengertian kejahatan serta perubahan-perubahan ciri-ciri dasar lain dalam pemikiran kriminologi, telah memalingkan kriminologi pada kejahatan-kejahatan yang benar-benar merugikan masyarakat.

KETIDAKADILAN SOSIAL DAN EPIDEMI KRIMINALITAS : SEBUAH WACANA

Dalam studi pakar kriminologi masa kini, diyakini bahwa kejahatan-kejahatan utama yang patut memperoleh tekanan perhatian Kriminologi di negara-negara yang sedang membangun adalah kejahatan-kejahatan yang melembaga serta kejahatan-kejahatan struktural yang berkisar pada bentuk-bentuk, pengebirian, pemerasan, dan penindasan hak-hak dasar manusia, baik sebagai perorangan maupun dalam ikatan kelompoknya. Dengan demikian, maka untuk memperoleh pemahaman yang lebih dari sekedar pemahaman awam atas kejahatan, Kriminologi membutuhkan suatu pengamatan tajam dan mendalam mengenai masalah-masalah struktural dalam masyarakat, serta depedensi kejahatan atas kekuatan-kekuatan makrososiologis yang melatarbelakanginya.
Dalam bukunya, Kriminologi Suatu Pengantar, Soerjono Soekanto (1981) mengatakan bahwa salah satu masalah struktural yang perlu diperhatikan dalam analisa Kriminologi di Indonesia adalah masalah kemiskinan. Telah cukup banyak studi dan penelitian di Indonesia yang mengungkapkan masih berlangsungnya proses pemelaratan di negeri ini. Proses pemelaratan tersebut harus dipandang sebagai suatu bentuk ketidakadilan sosial yang memerlukan perubahan-perubahan struktural guna merenggutkan cengkeraman struktur yang memiskinkan tersebut. Keadaan ini seharusnya dianggap sangat penting karena kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan korban yang demikian banyak.
Kemiskinan bukan sekedar masalah budaya yang dapat dilihat dari sudut kebudayaan kemiskinan (the culture of proverty), seakan-akan bagian wajar dari proses budaya semata-mata, melainkan harus dilihat sebagai suatu proses pemelaratan yang merupakan produk bekerjanya keputusan-keputusan dan jaringan-jaringan organisasi sosial, ekonomi, dan politik. Proses itu juga telah melibatkan sejumlah lembaga yang memberikan sumbangan penting bagi jalan ekonomi dengan menyangga suatu struktur pemilikan yang timpang. Lembaga-lembaga itu juga dalam bergeraknya langsung atau tidak langsung telah menyisihkan mayoritas massa untuk memperoleh keuntungan dari kebijakan-kebijakan pembangunan.

Arti Kriminologis pengungkapan dan pemahaman atas bentuk-bentuk ketidakadilan sosial ini semakin bertambah apabila kita mengingat sebuah bunyi hipotesa besar dalam Sosiolog Hukum seperti yang dikatakan Schuyt. Hipotesa itu menyatakan bahwa pelaksanaan hukum dan penerapan hukum yang adil, artinya yang sama bagi setiap orang dan berjalan sesuai dengan peraturan dan asas-asas hukum, tergantung pada struktur sosial yang adil, yaitu struktur masyarakat yang ciri khasnya tidak terdapat pada perbedaan kekuasaan yang besar dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam aneka bentuk dan variasi.
Perluasan pengertian kejahatan serta perubahan-perubahan ciri-ciri dasar lain dalam pemikiran Kriminologi, telah memalingkan Kriminologi pada kejahatan-kejahatan yang benar-benar merugikan masyarakat.
Dalam proses pembangunan tak jarang ditemui hambatan-hambatan  yang terwujud sebagai bentuk-bentuk kejahatan, mulai dari kejahatan individual dan konvensional sampai pada kejahatan-kejahatan inkonvensional. pemahaman dan analisa kriminologi dapat didayagunakan untuk kepentingan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan nasional sesuai dengan tuntutan rakyat indonesia.

Teori-teori dan pemikiran-pemikiran yang telah dan tengah berkembang dalam kriminologi bukan hanya dapat dipakai untuk dapat mengidentifikasikan hambatan-hambatan tertentu dalam proses pembangunan, melainkan juga dapat dipakai sebagai landasan dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan (Mulyana W. Kusuma dkk,1981).
Sekitar tahun 2000/2001, sebuah proyek besar mengenai epidemi perbuatan kriminal telah dijalankan di Inggris. penelitian itu diminta  oleh British dan Paul Ormerod. Ormerod sendiri sudah dua kali berkunjung ke Indonesia. Proyek penelitian itu sendiri dari survey menyeluruh soal literatur mengenai kriminal. Penelitian tersebut juga diletakkan dalam sebuah kerangka yang berbau ilmiah. Akan tetapi, penelitian itu pada dasarnya melihat faktor-faktor ekonomi, sosial, dan unsur kekuatan pengadilan atas perbuatan kriminal dan dampaknya terhadap perbuatan kriminal di Inggris Raya..

Hasilnya dituangkan dalam laporan yang berjudul "survey of the research leterature on the criminological and economic factors influencing crime trends". Latar belakang penelitian itu, adalah munculnya rekor baru kriminal di Inggris pasca perang dunia II. Perbuatan kriminal semakin meningkat, sehingga pemerintah Inggris merasa perlu mengatasinya. Namun, untuk itu diperlukan pengetahuan, mengapa dan bagaimana mengatasi atau menurunkan perbuatan kriminal tersebut.
Alasan-alasan ekonomi pun mencuat sebagai salah satu faktor di balik peningkatan aksi kriminal di Inggris itu. Bukan satu-satunya, tetapi faktor ekonomi berperan besar mendongkrak angka kriminal itu. Faktor-faktor yang dianalisis sebagai penyebab peningkatan kriminal antara lain rata-rata pendapatan, faktor demografis, deterrent rate (tingkat pencegahan perbuatan kriminal), pendidikan, pemerataan pendapatan dimasyarakat, ukuran keluarga, struktur keluarga, ketimbang pendapatan, intelejensia, opportunity cost (biaya yang dialokasikan untuk mencegah perampokan), pengawasan orang tua, kemiskinan, pengamanan pribadi, tahapan hukuman, tingkat hukuman, pengangguran (tidak sukarela), dan lain-lainnya. Semakin timpang pendapatan semakin tinggi probabilitas pada seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. masalah pengangguran juga memicu aksi kriminal.

Intinya, khusus soal ekonomi memperlihatkan, kemiskinan berkorelasi positif dengan perbuatan kriminal. Demikian juga ketimpangan pendapatan, semakin timpang pendapatan semakin tinggi probalitas pada seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Masalah pengangguran juga memicu aksi kriminal. Semakin besar pengangguran tidak sukarela-karena ada juga orang menganggur secara sukarela-semakin tinggi probabilitas perbuatan kriminal.
Dari segi survei literatur, Volterra melakukan pelacakan terhadap hasi-hasil penelitian soal kriminal yang disebabkan perkara atau ketimpangan ekonomi. Perusahaan konsultan tersebut melacak literatur yang dimulai pada Tahun 1700-an, yang pernah dilakukan Jeremy Bentham. Kesimpulannya juga sama, faktor ekonomi penyebab naiknya perbuatan kriminal.
Hal yang menarik, faktor ekonomi ada yang berdampak langsung terhadap perbuatan kriminal. Akan tetapi, ada yang berpengaruh setelah melalui proses, dan tali temalinya tidak lurus, tetapi non linier. Misalnya, ada orang yang menjadi jengkel dan terdorong melakukan kriminal, karena melihat ketidakadilan, yamg dipicu oleh ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan.

salah satu implikasi dari penelitian Volterra tersebut adalah pertumbuhan ekonomi tinggi tidak akan serta merta menurunkan perbuatan kriminal, malah bisa meningkatkan perbuatan kriminal.
Paul Ormerod mengatakan, setidaknya menjelaskan bahwa prahara sosial, termasuk munculnya aliran fundamentalis yang mulai mencuat di Indonesia, salah satunya juga didorong oleh krisis ekonomi, termasuk oleh ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi. Maka itu perlu bagi pemerintah, bukan saja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara umum (makro), tetapi juga harus memperhatikan bagaimana pola distribusi pendapatan terjadi, merata atau tidak.
Menurut Ormerod, secara umun keadaan ekonomi yang sebagus apapun tetap saja memang tidak bisa menghilangkan perbuatan kriminal, karena perbuatan kriminal bukan melulu disebabkan alasan ekonomi. Akan tetapi, bedanya, adalah jika ekonomi memeng menjadi persoalan utama dibalik meningkatnya perbuatan kriminal menjadi semakin sulit. Itu jika unsur ekonominya tidak ditangani.

Dapat disimpulkan, bahwa kecenderungan untuk berperilaku jahat tidak hanya monopoli dari rakyat miskin karena desakan ekonomi (blue collar crime), tetapi juga dilakukan oleh para selebriti dan kaum elit yang terhormat (white collar crime) karena kerakusannya. namun yang lebih berbahaya apabila dalam suatu masyarakat terdapat situasi dimana orang tidak lagi merasa risih melakukan pelanggaran hukum karena lumpuhnya kesadaran kolektif teantang apa yang pantas dilakukan dan apa yang tidak pantas dilakukan dengan alasan bahwa semua itu dilakukan karena keadaan.

Kejahatan Korporasi 

Pada akhir-akhir ini kita menyaksikan tumbuh dan berkembangnya korporasi, baik dalam jumlahnya, macam bidang usahanya maupun besarannya hampir di seluruh dunia. Di Indonesia, perkembangan yang luar biasa ini di samping karena peranan pemerintah melalui peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya, juga karena sifat korporasi yang cenderung ekspansif. Usaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini adalah sejalan dengan tuntutan dalam memenuhi tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan industri dalam menyongsong era Pembangunan Jangka Panjang Kedua, di samping pengaruh globalisasi pada beberapa tahun belakangan.

Kita lihat industri yang bergerak di berbagai bidang, seperti pertanian, kehutanan, makanan, farmasi, petrbankan, elektronika, otomotif, perumahan, konstruksi, transportasi, hiburan dan masih banyak lagi. Setiap hari kita dibanjiri dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga untuk "investasi". Hampir seluruh kebutuhan kita dapat dilayani oleh korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak di dalam kandungan hingga di liang kubur kita di bawah kekuasaan korporasi. Munculnya korporasi juga membuka lapangan kerja bagi ribuan orang bahkan hingga tahun 1992, jumlah tenaga kerja yang bekerja di dalam industri di Indonesia mencapai sekitar 2,6 juta, yang tentunya ikut mengurangi pengangguran, meksi perlu diingat bahwa dengan munculnya industri maka ribuan orang juga akan kehilangan pekerjaannya. Belum lagi sumbangan yang dihasilkan, baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen.

Meskipun kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar, namun hingga kini belum ada badan yang khusus mencatat kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi, berbeda dengan kejahatan warungan (konvensional). Dengan meningkatnya peranan korporasi di masa-masa mendatang, khususnya dalam masyarakat industri, kejahatan korporasi akan semakin meningkat, lebih-lebih dengan kenyataan kurangnya perhatian kita terhadap kejahatan korporasi yang selama ini kita lakukan. Keterlambatan kita dalam menghadapi kejahatan korporasi ini tidak lain akibat "kebodohan kita bersama". Penelitian-penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenal terhadap kejahatan korporasi atau seringkali kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini, antara lain oleh ketidaknampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya, kecanggihan perencanaannya dan pelaksanaannya, oleh tidak adanya atau lemahnya penegakan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial, sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakkan kembali sentimen kolektif terhadap ikatan moral.

Meski dalam konteks yang berbeda, fenomena beginian menarik perhatian Sutherland dalam ceramahnya tentang "White-collar criminality" di hadapan The American Sociological Society pada tahun 1939, untuk menunjuk pada kejahatan-kejahataan yang dilakukan oleh orang-orang "terhormat" dalam melakukan pekerjaannya, seperti bankir, industriawan dan kelompok profesi. Apa yang oleh Sutherland disebut sebagai kejahatan white-collar, beberapa tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1907 Edward Ross dalam suatu artikel di majalah Amerika, meminta perhatian atas tanggapan masyarakat yang membingungkan terhadap criminaloid. Apa yang oleh Ross disebut sebagai criminaloid barangkali yang dewasa ini disebut sebagai pelaku kejahatan korporasi. Oleh Ross digambarkan bahwa criminaloid menikmati "kekebalan" terhadap "dosa-dosanya yang baru", berkat penampilannya yang "terhormat" sehingga terlindungi dari celaan masyarakat. Memperoleh  perlindungan karena hubungannya dengan bisnis yang sah, kelompok organisasi sosial yang baik, dan dengan sifat yang seolah-olah konservatif, dia bahkan berhasil mengangkangi masyarakatnya bagaikan seorang raksasa.

Apa yang tersirat dalam tulisan Ross tersebut masih menarik untuk masyarakat kita dewasa ini, yaitu tentang (1) masalah mencari label penjahat yang dapat diterapkan kepada pelakunya, (2) sikap masyarakat yang mendua terhadap kerugian dan tanggapan sosial yang sepadan dengan kesalahan-kesalahannya, (3) fakta mengenai praktek penegakan hukum dalam memberikan kekebalan penuntutan yang secara luas didasarkan pada sikap masyarakat yang mendua tersebut, (4) warta simbolis bahwa beberapa ciri tertentu, khususnya pimpinan korporasi dan korporasi berada di luar jangkauan hukum pidana.

Dalam perkembangannya istilah white-collar ini juga dipakai terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh organisasi dan korporasi dalam mencapai tujuannya.

Meski ide Sutherland dilontarkan sejak tahun 1939, namun dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan mengenai kejahatan white-collar khususnya mengenai kejahatan korporasi bukan saja tidak menarik minat para ilmuwan, bahkan apa yang dilakukan oleh Sutherland dianggap telah keluar dari "kesepakatan" kriminologi pada masa itu dan karenanya memperoleh kritik yang cukup keras dari rekan-rekan seprofesinya.

Lihat misalnya Paul W.Tapan, who is the criminal? Keadaan yang demikian inipun nampak misalnya dari studi yang dilakukan oleh Wolfgang, dkk. Terhadaap 3.700 buku dan artikel dalam Indeks Kriminologi di Amerika yang membahas teori dan fakta kriminologi dari tahun 1945-1972 hanya terdapat 92 atau sekitar 2,5% tentang kejahatan white-collar, dan dari jumlah itu hanya sekitar 1% yang membahas mengenai kejahatan korporasi.

Baru pada tahun 1970-an  perhatian terhadap kejahatan korporasi meningkat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan kriminologi, khususnya kriminologi kritis dan semakin populernya perspektif labeling yang dapat dipandang telah mengubah konteks studi kriminologi yakni dengan mengarahkan studinya dengan mempelajari proses-proses kriminalisasi, baik proses pembuatan undang-undang maupun proses bekerjanya hukum. Melalui studi tentang proses, orang menemukan adanya kepentingan-kepentingan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemilihan dan penunjukan dijadikannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana serta penerapannya, yang berarti terjadi sifat berat sebelah (bias) dalam proses pembuatan undang-undang maupun dalam bekerjanya hukum. Dengan demikian, tindakan-tindakan tertentu cenderung untuk dijadikan tindak pidana sedangkan tindakan yang lain langka, demikian juga orang-orang dengan ciri-ciri tertentu cenderung dijadikan pelaku kejahatan. Singkatnya, perbuatan-perbuatan yang dijadikan sebagai kejahatan (tindak pidana) terutama adalah kejahatan warungan dan sangat langka pada kejahatan-kejahatan korporasi. Begitu pula pelaku kejahatan yang ditindak terutama pelaku kejahatan warungan dan langka terhadaap pelaku kejahatan white-collar/korporasi. Di samping itu, studi terhadap kejahatan korporasi semakin menyadarkan para ilmuwan bahwasannya kerugian yang ditimbulkan pleh kejahatan ini luar biasa besarnya. Kerugian mana meliputi kerugian-kerugian di bidang ekonomi, kesehatan dan jiwa serta kerugian di bidang-bidang sosial dan moral. Sejalan dengan itu, Konggres ke-5 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum yang diselenggarakan oleh badan PBB pada bulan September 1975 di Jenewa memberikan rekomendasi dan memperluas pengertian kejahatan terhadap "tindakan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum" (illegal abuses of economic power), seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, perburuhan, pencemaran lingkunagan, penipuan terhadap konsumen, penyelewengan di bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional.


PERKEMBANGAN KORPORASI


Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerjasama (asosiasi) daripada tujuan untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada umumnya.

Munculnya revolusi industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali VOC yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham) yang tetap.

Selama lebih dari tiga abad, dasar-dasar dan ciri-ciri hukum korporasi dikembangkan seperti badan yang diakui oleh negara, yang memiliki hak untuk dapat mempunyai milik bagi tujuan-tujuan umum, hak untuk menuntut dan dituntut dan eksistensinya yang melampaui masa hidup dari para anggotanya.

Secara umum korporasi memiliki lima ciri penting yaitu:
  1. merupakan subyek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus.
  2. memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas.
  3. memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
  4. dimiliki oleh pemegang saham
  5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Aspek-aspek ini merupakan bagian integral dari korporasi masa kini yaitu bahwa dengan melakukan aktivitas bisnis melalui korporasi maka anggotanya sekaligus mengurangi dua resiko, baik resiko sebagai individu maupun resiko terhadap sejumlah modal perorangan yang diperlukan oleh korporasi untuk kegiatannya. Korporasi karenanya diterima sebagai lembaga hukum yang dapat menguasai kumpulan modal dari banyak orang di atas suatu jangka waktu yang tidak dipengaruhi oleh kematian atau penarikan diri dari individu-individu.


Melalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai subyek hukum dan diperlakukan "sama" dengan subyek hukum yang lain yakni manusia (alamiah). Dengan demikian, korporasi dapat bertindak sebagai manusia pada umumnya. Namun sebagai subyek hukum yang keberadaannya ditentukan oleh perundang-undangan, menjadikannya ihwal yang menyangkut korporasi, seperti hak, kewajiban, tindakan hingga tanggung jawabnya ditentukan oleh sang penentu yakni undang-undang.  Kesulitan muncul karena "kurangnya" visi sang penentu mengenai ihwal korporasi di samping kesulitan yang diperoleh dari konstruksi hukum itu sendiri, bukan saja bagi masyarakat awam, namun juga bagi aparat hukum dalam menghadapi perilaku korporasi yang merugikan masyarakat. Misalnya terhadap produk korporasi yang menyebabkan orang sakit atau mati, karena perbuatan korporasi ini harus dievaluasi oleh pengadilan, maka penanganannya menjadi lebih kompleks dan teknis bila dibandingkan dengan kalau hal ini dilakukan oleh subyek hukum manusia.

Sebagai pengaruh dari revolusi industri sertra semakin luasnya jangkauan usaha, menjadikan korporasi dapat melayani berbagai kebutuhan praktis bagi keperluan-keperluan umum, seperti kebutuhan untuk menjamin penggantian kepemilikan, bentuk-bentuk organisasi serta ukuran-ukurannya, penyediaan dan alokasi dana, batas tanggung jawab para pemilik, yang semuanya itu diberikan kepada korporasi melalui perundang-undangan. Keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh peraturan-peraturan tersebut serta kemampuan peningkatan modal melalui penjualan saham dan obligasi, kelonggaran dalam struktur perpajakan secara umum telah meningkatkan perundang-undangan tentang korporasi di negara-negara Eropa dan Amerika. Di sisi lain keadaan ini menjadikan korporasi mampu memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Di Amerika misalnya, dari semua bentuk pemilikan di bidang bisnis, korporasi menguasai sekitar 72% dari seluruh uang di dalam kegiatan bisnis.

Di Indonesia pun hal senada juga nampak seperti deregulasi di bidang perbankan, peraturan-peraturan di bidang perpajakan yang memberi "kemudahhan" pada korporasi untuk melakukan merger/akuisisi dan sebagainya.


Dalam usaha untuk memperluas kesempatan bisnis, perusahaan-perusahaan besar berusaha untuk menguasai sumber-sumber bahan mentah maupun pemasaraannya, di samping perusahaan-perusahaan besar pertama-tama akan berusaha mengontrol perusahaan-perusahaan kunci dengan membeli saham perusahaan-perusahaaan yang lain. Akibatnya muncul trust dan holding company dengan tujuan untuk dapat mengontrol pada setiap tingkat produksi dari penguasaan terhadap bahan mentah hingga pada distribusi produk akhir dan untuk menjamin tidak terganggunya arus keluar-masuk barang. Perkembangan ekonomi yang mengarah pada bentuk campuran dari produksi dan distribusi yang bersifat massal ditambah dengan kemajuan iptek mewarnai paro pertama abad ke-20 di berbagai negara, khususnya Eropa dan Amerika, dan kemudian Jepang, yakni dengan munculnya perusahaan-perusahaan raksasa yang antara lain melalui merger, ditandai dengan diversifikasi usaha. Ini mebawa pada keadaan stuktur hirarkis yang kompleks yakni direksi memainkan peranan kunci dalam kegiatannya dibandingkan dengan pemegang saham.

Dewasa ini korporasi cenderung berkembang kearah desentralisasi dalam divisi-divisi yang otonom, dalam arti manajer dan masing-masing divisi bertanggung jawab secara penuh terhadap pelaksanaan tugas dalam divisinya, sementara direksi tingkat atas (top management) melakukan kontrol atas kebijakan, pengeluaran-pengeluaran yang besar dan promosi-promosi tingkat tinggi. Struktur organisasi dari setiap korporasi besar berada pada hubungan-hubungan di antara sejumlah orang-orang pekerja-pekerja, supervisi, kelompok eksekutif, pimpinan korporasi, dan dewan direksi dan pada saat yang bersamaan hubungan antara pimpinan korporasi dengan cabang-cabangnya.


MEMAHAMI KEJAHATAN KORPORASI


Meskipun undang-undang memperlakukan korporasi sebagai subyek hukum, namun dalam wujudnya berbeda dengan subyek hukum yang berupa manusia. Korporasi adalah suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuaan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis. Oleh karena itu, untuk memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi dan di antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-vabang di sisi lain. Dengan cara pandang yyang demikian, maka teori-teori mengenai oreganisasi dapat memberikan berbagai wawasan, yakni seberapa jauh sifat dan luasnya organisasi dapat berpengaruh dalam pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi. Begitu pula luasnya penyebaran tanggung jawabnya, serta struktur hirarkis dan korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi yang kondusif bagi perbuatan yang menyimpang/melanggar hukum yang dilakukan oleh organisasi.


Ukurannya yang besar ditambah dengan kecenderungan untuk mengembangkan diversifikasidan merger, menimbulkan kebutuhan korporasi untuk mendelegasikan kekuasaannya dalam pengambilan keputusan serta menyebarkan prosedur operasionalnya dengan tujuan efisiensi. Proses ini diikuti oleh pembentukan hirarki yang rumit yang mendasarkan pada posisi kekuasaan dan fungsinya. Bahkan pada dasawarsa terakhir ini terjadi proses internasionalisasi dan korporasi terutama pada lembaga-lembaga keuangan, sehingga menjadikannya semakin rumit. Sebagai pengaruh dari perkembangan korporasi maupun teknologi, maka sejumlah tugas memerlukan spesialisasi dari profesionaliasi. Secara keseluruhan faktor ukuran pendelegasian kekuasaan dan spesialisasi menghasilkan iklim organisasi yang mengijinkan pelepasan daari suatu tingkat tanggung jawab pribadi pada hampir setiap bentuk pengambilan keputusan dari yang paling sederhana dan yang hanya berlaku bagi beberapa orang hingga yangg dapat mempengaruhi kehidupan ribuan orang. Barangkali pada semua tingkat di dalam korporasi terdapat pelembagaan mengenai ketidakbertanggungjawaban dengan membiarkan korporasi menjalankan fungsinya, namun di balik itu seolah-olah membiarkan individu-individu dalam korporasi tertutup oleh tirai yang seakan-akan bertindak sesuai dengan hukum maupun moral. Di bawah kondisi yang demikian, maka hampir setiap bentuk kejahatan korporasi, mulai dari produk yang salah hingga membahayakan hingga penyuapan, kecurangan dan bahkan pencurian selalu dimungkinkan. Pejabat-pejabat pada tingkat yang lebih tinggi dapat membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dengan memberikan alasan bahwa tindakan-tindakan ilegal dalam mencapai tujuan-tujuan korporasi yang begitu  luas berlangsung tanpa sepengetahuan mereka. Pendelegasian tanggung jawab dan perintah yang tak tertulis menjaga mereka yang ada di puncak struktur korporasi jauh dati akibat-akibat yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan dan perintah mereka, seperti halnya para pemimpin kejahatan terorganisir (organized crime) kebanyakan tetap tak teersentuh oleh hukum (ingat film The Untouchable).


Pengaruh yang lebih luas adalah bahwa manajer pada tingkat menegah dan yang lebih rendah merasa bahwa tindakan ilegal merupakan bagian yang diperlukan dari pekerjaannya, boleh jadi karena mereka dipaksa untuk melakukan atau barangkali karena rasa tanggungjawab moral pada lapisan ini juga menjadi tumpul.

Dalam hubungan ini Kriesberg mengajukan tiga model pengambilan keputusan korporasi yang melanggar hukum, yaitu (a) rational actor model, di mana korporasi dilihat sebagai unit tunggal yang secara rasioanal bermaksud melanggar hukum apabila hal tersebut merupakan kepentingan korporasi, (b) organization process model, korporasi dilihat sebagai suatu sitem unit-unit yang terorganisasi secara longgar, di mana macam-macam unit korporasi mungkin tidak mematuhi hukum karena menghadapi kesulitan untuk dapat memenuhi produk yang ditargetkan, sehingga untuk dapat memenuhi produk yang ditargetkan, sehingga untuk dapat memenuhinya mereka cenderung melakukannya dengan melanggar hukum, misalnya dengan mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan untuk menjaga keselamaatan kerja, iklan yang menyesatkan dan sebagainya, (c) kejahatan korporasi merupakan produk dari keputusan-keputusan yang dibuat secara individual untuk keuntungan pribadi.


Kritik yang diajukan terhadap hierarki pada korporasi yang besar adalah bahwa ia meningkatkan kekakuan dan ketakutan pada eseslon yang lebih rendah. Personel yang berada di tingkat lebih rendah memperoleh instruksi dari atasannya mengenai tujuan-tujuan yang diinginkan, seperti "kuota" produksi atau pekembangan dan produk-produk baru.


Tujuan-tujuan tersebut seringkali dipandang sebagai persyaratan atau seuatu yang mutlak, sehingga seakan-akan segala cara dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang bersangkutan. Akhirnya dapat berkembang terjadinya suatu pemisahan yang tajam antara apa yang dipercayai oleh lapisan atas, bahwasannya prosedur yang ada berjalan sebagaimana mestinya dengan apa yang sesungguhnya dijalankan, yang berarti terjadinya distorsi terhadap pesan yaang diberikan.


Di samping itu, hal lain yang sering terjadi adalah bahwa personel pada semua tingkatan agaknya secara diam-diam menyetujui berlangsungnya pengurangan informasi, sebab kunci keberhasilan dari persekongkolan dalam pelanggaran hukum barangkali terletak pada kenyataan bahwa atasan tidak memperhatikan apa yang sedang berlangsung dan lapisan bawah tidak memberitahukan kepada atasannya. Hal ini terjadi antara lain karena adanya konflik antara kepentingan perusahaan dengan etika personel. Ini bukan semata-mata karena mereka tidak mau memberitahukan kepada atasannya, akan tetapi karena mereka yang berada di atas seringkali tidak menghendaki untuk diberitahu. Agaknya masalah ketidaktahuan ini merupakan "tameng" yang dapat digunakan untuk melindungi (pimpinan) korporasi dari pertanggungjawaban (pidana), khususnya bagi mereka yang memandang perusahaan mens rea sebagai hal yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidanaa.


Di samping itu, delegasi kekuasaan seringkali diikuti oleh berbagai proses yang secara potensial dapat merugikan. Tidak ada seorang pucuk pimpinan pun yang secara sendiri mengambil keputusan untuk memasarkan produk-produk yang salah atau melanggaar hukum tanpa sebelumnya memperoleh bantuan informasi dari bawahannya, artinya bahwa keputusan yang demikian merupakan sejumlah keputusan yang dibuat  sebelumnya berupa langkah-langkah kecil pada masing-masing tingkatan. Mesin organisasi di dalam bekerjanya korporasi akan melibatkan sub-sub bagian, yang masing-masing akan memberikan sumbangan dan sedikit dorongan dan barangkali tanpa disadari pada akhirnya akan menghasilkan tindakan ilegal dan membahayakan.